20 August 2007

Sepeda lawas, memiliki kenangan tersendiri

Kring..kring, kring ada sepeda, sepedaku roda tiga, kudapat dari ayah, karena rajin belajar.

Begitulah penggalan nyanyian anak-anak yang kini jarang terdengar lagi. Sebagai alat transportasi, sepeda kini seakan terpinggirkan oleh sepeda motor. Coba saja lihat, kini hampir langka kita melihat anak-anak bermain dan pergi sekolah dengan bersepeda. Atau orang-orang yang pergi beraktifitas ke kantor dan lainnya mengayuh sepeda, hampir semuanya menggunakan sepeda motor. Benar bukan?

Bicara soal sepeda, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa seorang John Kemp Starley dan John Boyd Dunlop. Pada 1886, Kemp menciptakan sepeda yang lebih aman untuk dikendarai. Ia menyempurnakan sepeda hasil ciptaan penemun para pendahulu dengan rantai. Rantai tersebut untuk menggerakan roda belakang dengan ukuran rodanya yang sama.

Sementara penemuan John Boyd Dunlop yang tidak kalah pentingnya adalah teknologi ban sepeda yang diisi dengan angin. Konon, dari penemuan Boyd inilah sepeda banyak disebut dengan julukan kereta angin. Dari kedua inventor itulah sepeda mulai banyak mengalami kemajuan. Mulai dari rem, perbandingan gigi yang bisa diganti-ganti, setang yang bisa digerakkan dan penemuan-penemuan lain yang akhirnya membuat sepeda memiliki daya tarik sendiri.

Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat dan mulai menjadi alat transportasi yang mengasyikan. Beragam bentuk sepeda pun berhasil diciptakan. Ada sepeda roda tiga, sepeda mini, sepeda balap dan sepeda kumbang.

Sepeda di Indonesia
Keberadaan sepeda di tanah air tidak terlepas dari pengaruh kolonial Belanda. Sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda memboyong sepeda buatan dalam negerinya untuk dipakai berkeliling menikmati segarnya udara Indonesia ketika itu. Hingga pada akhirnya menular pada warga pribumi, terutama mereka yang berdarah biru alias kaum bangsawan.

Pada masa berikutnya, sepeda banyak dianggap sebagai alat transportasi yang multi fungsi. Hingga akhirnya tidak hanya digunakan sebagai sarana menikmati kesegaran udara saja, tetapi juga digunakan sebagai alat transportasi para opas (tentara masa kolonial Belanda) dan pengantar surat. Sementara dalam aktifitas sehari-hari, di kaum pribumi pun sepeda mengalami hal yang sama. Para guru dan para pegawai pemerintah kolonial waktu itu pun menjadikan sepeda sebagai tunggangan utama mereka.

Fungsi sepeda pun terus mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan waktu. Memasuki abad yang semakin canggih, sepeda mulai kehilangan masa jayanya. Masuknya kendaraan bermotor, sepeda perlahan mulai ditinggalkan. Perannya mulai tergantikan mobil dan sepeda motor. Kini, sepeda tidak lebih sebagai benda lawas.

Kendati demikian, bukan berarti jasa dan citra sepeda lawas terlupakan begitu saja. Bagi sebagian orang, sepeda lawas merupakan benda yang memiliki kenangan tersendiri. Berangkat dari situlah tumbuh semangat untuk terus merawat dan memelihara segala bentuk dan pernak-pernik yang ada pada sepeda lawas. Alhasil, tumbuhlah berbagai komunitas atau kelompok-kelompok penghobi sekaligus pemerhati yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Seperti Buitenzorg Onthel Club (BOC) di Bogor misalnya.

Rata-rata, sepeda lawas di klub yang sebelumnya bernama GASEL (Gabungan Sepeda Lawas) ini keluaran pabrikan Eropa. Dan mereka sangat cermat dalam merawatnya. “Sepeda yang dimiliki klub ini semuanya sepeda lawas dan berumur. Artinya, sepeda buatan antara tahun 1940 sampai 1960 yang diontel atau dikayuh,” papar Rizal, sekertaris BOC.

Meski sepeda lawas dan sudah berumur, namun jangan salah. Semua sepeda yang dimiliki anggota BOC tidak terlihat satu pun yang kusam. Semuanya masih terlihat mengkilap dan terawat bagus. Seperti sepeda bermerek Fongers buatan Belanda milik H. Tajuddin. Kendati sudah berumur, namun sepeda yang dibelinya setahun lalu itu masih terlihat kokoh. “Sadle (saddel-red) ini masih asli, buatan Jerman. Dan ini termasuk yang sudah langka, maka harus dirawat dengan baik,” ujar karyawan PLN APJ Bogor ini.

Awal berdirinya klub ini, menurut Nasti Siregar, Ketua BOC, terbentuk dari kumpul-kumpul beberapa penggemar yang ingin melestarikan sepeda lawas. Dari kumpul-kumpul tadi, akhirnya timbulah ide untuk membentuk satu wadah penggemar sepeda lawas yang ada di Bogor dan sekitarnya. Alhasil, Kini terkumpul sekitar tujuh puluhan penggemar. “Siapapun bisa menjadi anggota BOC, asalkan punya sepeda onthel,” sambungnya.

Selain rutin berkumpul di depan Balaikota Bogor tiap hari Minggu, berbagai kegiatan kerap pula mereka ikuti. BOC juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan sepeda lawas dengan klub lain seperti Bandung dan Jakarta maupun daerah lainnya. Tidak hanya itu, BOC juga kerap mengadakan kegiatan sosial mengajak masyarakat untuk hemat energi. Seperti ketika perayaan hari jadi Kota Bogor 3 Juni lalu. Mereka tidak hanya berkonvoi, tetapi juga memperkenalkan kepada masyarakat bahwa sebelum adanya kendaraan bermotor masyarakat mengunakan sepeda.

15 August 2007

Memacu adrenalin dengan MRC

Dengan kecepatan cukup tinggi, empat mobil adu kencang di jalan aspal yang berliku. Raungan mesin menderu keras memekikan telinga. Sesaat setelah melewati satu tikungan tajam, mobil di barisan depan lepas kendali dan terjungkal hingga menyebabkan ditabrak lainnya. Meski terbalik, mobil itu dengan cepat dapat berbalik ke posisi awal dan cepat menyusul lainnya.

Jangan salah. Ini hanyalah balapan mobil miniatur yang dikendalikan melalui radio remot kontrol oleh pemiliknya dari balkon khusus yang tinggi di pinggir sirkuit. Meski siang itu terasa terik sekali, namun bagi si pengendara mobil remot kontrol bukanlah satu halangan. Dengan semangat dan penuh keseriusan, terik matahari seakan tidak terasakan sama sekali. Sementara di sisi sirkuit, beberapa orang nampak terhibur dengan adegan adu kecepatan yang ditontonnya.

Untuk mengekspresikan diri dengan hobi memang banyak caranya. Salah satunya dengan bermain mobil remot kontrol seperi ini. Selain sebagai sarana melampiaskan kepenatan, hobi ini diakui pula memberikan kepuasan sendiri yang tak ternilai. Seperti yang diakui Ir. Bahagia Waluyo.

Kepuasan yang dimaksud menurutnya, meski hanya sebuah mainan yang dikendarai melalui remot kontrol namun cukup membangkitkan adrenalin. “Cara kerja dan mesin di mainan ini tidak beda dengan mobil sungguhan,” ungkap direktur sebuah perusahaan suplier mekanik ini.

Bahkan, kata pria yang akrab dipanggil Waluyo ini, pengendali remot kontrol harus seperti menjadi pengemudi mobil balap. Dapat mengendalikan kemudi di remot selincah mungkin dan memiliki strategi yang jitu untuk membaca situasi kapan dan dimana untuk menarik kecepatan guna menjadi yang terdepan. Di saat-saat seperti itulah menurut Waluyo seakan dipacu kemampuannya. “Tak ubahnya menjadi pembalap sungguhan. Cepat, keras, seru, dan cukup memacu adrenalin,” ujarnya dengan mimik serius.

Menurut pria murah senyum ini, hobinya merupakan penerusan masa kecilnya. Ketika masih kecil ia mengaku sangat tertarik segala jenis mainan otomotif. Dan ketertarikannya itu berlanjut hingga sekarang. “Bedanya sekarang saya terlibat langsung dalam mainan yang saya suka,” ujarnya sambil menuturkan karena kecintaannya pada mobil remot kontrol begitu besar, ia pun mengkhususkan setiap Sabtu sebagai hari ‘bermain’ bersama penghobi serupa di sirkuit Taman Kota, di kawasan BSD Serpong Tangerang.

Di Indonesia, mobil remot kontrol memang bukan barang baru. Sejak mulai diperkenalkan pada sekitar tahun 70-an, mobil remot kontrol, yang biasa disebut MRC, semakin banyak penggemarnya. Bahkan, sampai sekarang telah banyak terbentuk komunitas penggemar mainan ini di seluruh tanah air. Tidak hanya itu, sejalan dengan berkembangnya peminat, banyak dijumpai sirkuit-sirkuit khusus. Seperti yang ada di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) atau seputar Stadion Gelora Bung Karno misalnya.

Seni membentuk boneka ratusan tahun


Nama Boneka Washi memang terasa asing bagi sebagian pehobi di Indonesia. Hobi melipat, menggunting, melekat dan membentuk boneka ini bisa dibilang baru berkembang beberapa tahun ke belakang.

Di negara asalnya Jepang, boneka washi memang tak perlu ditanya lagi. Di sana, boneka washi merupakan salah satu seni kerajinan tangan tradisional turun temurun sejak tiga abad lampau. Maklum saja, kalau ditelaah, bangsa Jepang sudah mengenal seni membentuk dan melipat kertas sejak ratusan tahun lalu. Biasanya selain sebagai pelengkap suatu acara ritual keagamaan, boneka washi juga digunakan sebagai hiasan pajang di kamar tidur maupun ruang tamu.

Di Indonesia sendiri, meski masih terdengar asing, hobi ini sudah mendapat tempat. Terutama bagi mereka yang gemar berkreasi dengan kertas. Seperti yang terlihat di Universitas Bina Nusantara misalnya. Melalui salah satu unit kegiatan mahasiswanya, Nippon Club.

Penggemar dan pembuat boneka washi ternyata tidak hanya bisa ditemui di kalangan mahasiswa saja, tetapi juga ibu rumah tangga. Reni Bhaskara adalah salah satunya. Menurut ibu dua anak ini, hobi yang telah ditekuni sejak dua tahun lalu ini berawal dari ketertarikannya saat melihat boneka washi. “Bentuknya unik dan lucu,” tuturnya.

Bermula dari keunikan yang dilihatnya inilah akhirnya ia mulai kepincut untuk belajar membuat boneka washi. Melalui sebuah kursus, akhirnya Reni –sapaan akrab wanita ini- pun banyak belajar bagaimana membuat boneka washi yang diidamkannya itu.

Kini dari kursus yang didapatnya tersebut dan kelincahan tangannya sendiri, Reni telah mampu membuat dan mengoleksi banyak boneka washi, yang sebagian disimpan dalam lemari khusus di rumahnya yang teduh di kawasan Cibinong, Bogor. Sementara sebagian lagi menghias outletnya yang ada di Bali.

Bahkan lebih jauh ia mengungkapkan kalau boneka washi sudah mengalir di jiwanya. “Saya seperti tidak bisa lepas dari hobi ini. Setiap ada waktu luang, selalu saya manfaatkan membuatnya,” tutur wanita jebolan Universitas Brawijaya ini tersenyum.


09 August 2007

Pesona Teluk Tulungagung


Sekali waktu, jika memiliki waktu luang cukup panjang, cobalah mengunjungi Kota Tulungagung, Jawa Timur. Kota yang letaknya diapit tiga kota, Kediri, Blitar dan Trenggalek ini memilik daya tarik wisata alam yang tidak kalah menarik dengan daerah lain di nusantara ini.

Jika mendengar kata Tulungagung, mungkin ingatan Anda langsung tertuju pada marmer. Tulungagung memang terkenal sebagai salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia, yang bersumber di bagian selatan Tulungagung terutama di Kecamatan Campurdarat. Di sini, sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai perajin marmer. Tapi kali ini Pelangi bukan mengajak Anda untuk mengunjungi pusat industri marmer tersebut, namun menikmati indahnya pesona wisata teluk yang dimilikinya.

Awalnya, Tulungagung hanya merupakan daerah kecil yang terletak di sekitar tempat yang saat ini merupakan pusat kota (alun-alun). Tempat tersebut dinamakan Tulungagung karena merupakan sumber air yang besar - dalam bahasa Kawi, tulung berarti mata air, dan agung berarti besar.

Secara topografik, Tulungagung terletak pada ketinggian 85 meter di atas permukaan laut (dpl). Bagian barat laut Kabupaten Tulungagung merupakan daerah pegunungan yang merupakan bagian dari pegunungan Wilis-Liman. Bagian tengah adalah dataran rendah, sedangkan bagian selatan adalah pegunungan yang merupakan rangkaian dari Pegunungan Kidul.

Sementara jika dilihat dari geografisnya, kota kabupaten ini terletak 154 km barat daya Kota Surabaya dan dibatasi oleh Kabupaten Blitar di sebelah timur, Kabupaten Trenggalek disebelah barat, Kabupaten Kediri di sebelah utara serta Samudra Hindia di sebelah selatan. Mungkin, lokasi yang terakhir inilah menjadikan kabupaten ini memiliki potensi wisata pantai yang cukup bagus.

Pantai Popoh dan Prigi
Pagi itu, langit Tulungagung nampak cerah. Begitu sampai setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Surabaya, tanpa banyak menyiakan waktu kami pun langsung menuju kawasan wisata pantai di kota ini yang cukup kondang. Ya, Pantai Indah Popoh.

Pantai ini selain berada diantara perbukitan pantai teluk, pemandangan alamnya sangat mempesona. Tidak itu saja, pantai ini juga merupakan salah satu unggulan wisata bagi daerah Tulungagung. Tempat yang mempunyai panorama indah ini hanya berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Tulungagung.

Untuk mencapai lokasi ini, jika menggunakan kendaraan pribadi, haruslah berekstra hati-hati. Jalannya yang sempit, banyak menikung tajam dan turunan yang curam akan kerap ditemukan. Namun Anda jangan khawatir dengan kondisi jalan, boleh dibilang sepanjang jalan dari menuju hingga mencapai lokasi wisata ini cukup bagus. Mulus dengan kualitas aspal yang hampir sama dengan jalan-jalan di pusat kota Tulungagung.

Jalan menuju pantai popoh selain mulus, sepanjang jalan kita akan disuguhi alam perbukitan panorama tebing Gunung Kapur yang selalu bersinar tanpa henti. Nah ketika sampai jalan bagian atas, tidak ada salahnya jika turun sejenak dan menikmati keindahan pemandangan dari atas bukit. Dari sini, kita akan terpesona memandang panorama laut selatan yang membiru. Buih ombak yang bermain di bibir pantai, dari kejauhan nampak menakjubkan.

Pantai Popoh merupakan pantai alam berbentuk teluk (Pantai Teluk) yang mempunyai pesona dan kekhasan tersendiri dan kondisi ini jarang ditemui di daerah- daerah pantai lainnya. Boleh dibilang, pantai ini memberi rasa nyaman, aman, dan jangan heran jika setelah mengunjungi Popoh, maka rasa rindu untuk datang kembali berwisata seakan terus mengajak Anda.

Lokasi Pantai Popoh yang berada di antara perbukitan pantai teluk, menjorok masuk ke daratan, sehingga angin laut yang datang tidak secara langsung masuk. Tetapi diterima perbukitan yang mengirimkan angin gunung. Tidak heran kiranya jika Pantai ini dikenal pula memiliki udara atau angin yang khas.

Jika Anda gemar berenang di pantai, Popoh memang lokasi yang cocok. Karena geografis posisi pantai masuk ke dalam, maka pengaruh gelombang Laut Selatan yang terkenal ganas menjadi lembut dan tenang. Kondisi ini memungkinkan bagi para wisatawan untuk berwisata dan berenang sepanjang Pantai Popoh dengan aman tanpa terusik ganas dan bahayanya ombak laut selatan.

Percaya atau tidak, ternyata bagi kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke Pantai Popoh percaya bahwa air lautnya cukup berkhasiat. Khususnya air laut yang diyakini dari Laut Selatan tempat peristirahatan Nyi Roro Kidul. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Palereman Nyi Roro Kidul di area Padhepokan Retjo Sewu. Berangkat dari legenda dan mistis demikian, banyak wisatawan yang datang untuk sekedar membasuh muka dengan air laut. Konon, khasiatnya dapat memberikan panjang umur, awet muda, mudah mendapatkan keuntungan, sehat dan rukun dalam keluarga.

Dibanding dengan lokasi wisata pantai di Carita maupun Pasir Putih di Bandarlampung, Pantai Popoh boleh dibilang lebih terawat dan tertata rapi. Fasilitas yang ada di pantai ini juga terbilang lengkap. Selain menjual wisata pantainya, disini juga terdapat fasilitas arena bermain untuk anak, pendopo agung serta panggung kesenian terbuka. Disini pun tersedia beberapa kios souvenir yang menyediakan berbagai souvenir unik khas daerah ini.

Setelah puas menikmati keindahan alam di Pantai Popoh, tujuan Pelangi selanjutnya adalah wisata sejenis yang lokasinya lumayan jauh. Pantai Prigi, begitulah wisata pantai ini dinamaklan. Selain lokasi wisata, Pantai Prigi juga sebagai tempat pelelangan ikan. Pantai ini berjarak sekitar 50 km dari kota Tulungagung.

Jika ke pantai hanya bertujuan untuk bersantai, maka Pantai Prigi adalah lokasi yang cocok. Selain itu, di pantai ini Anda juga dapat menyewa perahu atau kapal motor menuju ke tengah mencoba besarnya ombak laut selatan.

Selain itu, jika anda ingin menikmati panorama pantai yang lebih mempesona, cobalah naik ke puncak bukit yang ada disekitar daerah tersebut. Dari puncak bukit ini akan terlihat pemandangan yang sangat indah. Pasir yang putih, keindahan pantai yang menawan serta dipadu dengan pelelangan ikan yang tertata rapi merupakan pemandangan menakjubkan yang akan kita jumpai di pantai prigi ini.

Khusus di pelelangan ini, sepanjang hari kita akan disuguhi pemandangan kesibukan nelayan merapikan jaring selepas mencari ikan di tengah laut. Jika Anda ingin membeli ikan hasil tangkapan mereka, tidak perlu khawatir. Mereka memang tidak segan-segan memberikan ikan yang kita inginkan, asal dengan penawaran harga yang pas tentunya. Dijamin, dengan pendekatan dan tawar menawar yang baik anda sudah bisa membawa ikan dengan jenis terenak sebanyak satu tas plastik besar.

So, tunggu apalagi….


Si Montok yang murah dan sarat nostalgia



Sebagai ibukota negara dan kota terbesar, Jakarta merupakan miniatur bagi bangsa Indonesia. Di mana semua etnik, ras, suku bangsa dan budaya nusantara ada di sini dengan beragam aktifitas baik bekerja, wirausaha atau kuliah. Di sini semua kebutuhan hidup hampir semuanya tersedia.

Dengan kenyataan seperti itulah, tidak mengherankan jika Jakarta menjadi kota yang sibuk setiap harinya. Kemacetan serta kesemrawutan lalu lintas tidak dapat dihindarkan dan sudah menjadi pemandangan umum. Sepanjang hari ruas-ruas jalan seakan disesaki kendaraan pribadi, kendati sarana transportasi umum tersedia seperti busway, bis kota, kereta rel listrik (KRL), bajaj dan bemo. Nama yang disebut terakhir merupakan sarana transportasi kuno.

Wujud bemo yang tampak tua merupakan gambaran bahwa angkutan ini telah melewati waktu yang panjang. Kendati begitu, masih terlihat gesit dan setia mengantar penumpang ke tempat tujuan. Coba saja tengok di kawasan Karet dan Manggarai, Jakarta Selatan.

Kendati jumlahnya tidak sebanyak dahulu dan bahkan keberadaannya akan dihapus oleh pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta, angkutan yang konon awalnya didatangkan oleh tentara Jepang ini masih menjadi tranpsortasi pilihan warga Jakarta. Seperti Ratna Agustin misalnya, karyawati sebuah bank swasta di Salemba ini mengaku selalu setia menggunakan bemo. Baginya, bemo bukan sekedar angkutan umum saja, tetapi memiliki sisi kenangan masa kecil. ”Dulu waktu kecil saya sering diajak ibu naik bemo, dari rumah ke Pasar Rumput. Jadi kalau naik bemo, meski dengkul beradu tapi selalu ingat nostalgia dulu,” ujarnya tersenyum.

Lain halnya dengan Prasetyo, karyawan sebuah akuntan publik di Pejompongan ini mengaku lebih memilih bemo karena ongkosnya yang relatif murah. Ia hanya cukup mengeluarkan ongkos Rp.2000 dari tempatnya tinggal di kawasan Karet hingga persis di depan kantor. ”Ada sih Kopaja atau mikrolet, tapi ngetem-nya ga tahan.” sambungnya.

Rencana penghapusan bemo sendiri sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi. Banyak kalangan menyayangkan jika pemda akan menghapusnya. Selain memiliki nilai sejarah, bemo lebih banyak beroperasi di jalan-jalan kecil masuk keluar kampung sehingga berlebihan kiranya jika bemo dinilai sebagai salah satu penyebab kemacetan dan polusi.

Baiknya, pemda mencari solusi bagaimana bemo tetap dapat bertahan. Mungkin dengan mengubahnya menjadi kendaraan berbahan bakar gas seperti bajaj dan tidak menghilangkan bentuk mungil dan montoknya. Sehingga bemo benar-benar bisa dianggap layak hidup di Jakarta yang masih bermimpi menanti kelahiran monorail dan kereta bawah tanah.


04 August 2007

Menara Syahbandar


Jakarta berdiri dan tumbuh menjadi sebuah kota metropolitan seperti sekarang ini tidaklah dengan begitu saja. Artinya kota dengan kemajemukan populasinya ini telah banyak melewati waktu yang panjang. Sisa-sisa perjalanan itu pun banyak meninggalkan kenangan historis, salah satunya adalah Menara Syahbandar. Salah satu bangunan bersejarah yang dibangun pada tahun 1893, berada satu kompleks dengan Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa.

Menara ini masih berdiri kokoh di lokasi yang pada masa lalu merupakan salah satu bastion (sudut benteng) kota Batavia yang tersisa. Di samping timur menara ini terdapat tembok benteng dengan dua meriam yang mengarah ke pelabuhan Sunda Kelapa. Sementara di sebelah barat berdiri megah sebuah bangunan rumah kecil menyerupai gudang.

Pintu gerbang Menara Syahbandar berada di sisi barat, ketika memasuki area menara ini dua buah meriam yang masih kokoh seakan menyambut kedatangan pengunjung. Menurut catatan sejarah, menara ini sebagai pusat pengaturan arus palayaran, selain itu dahulunya juga sebagai kantor pabean. Di bangunan inilah dahulu pajak-pajak dikumpulkan dari barang-barang yang diturunkan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bangunannya sendiri terdiri dari dua bagian.

Bagian bawah terbagi dua sisi, satu sisi berupa ruang menyerupai ruangan kerja. Disisi inilah administrasi pabean ketika itu beraktifitas. Sementara sisi kiri bangunan ini adalah tangga menuju puncak menara. Untuk mencapai puncak menara, diperlukan kehati-hatian saat kaki menaiki satu persatu anak tangga. Ini karena kondisi kayu yang sudah tua dan tidak adanya pengaman di kedua sisinya.

Mengamati pemandangan sekitar dari puncak Menara Syahbandar adalah sesuatu yang meagasyikan. Dari jendela yang mengelilingi menara, di sebelah utara akan nampak dari kejauhan Pelabuhan Sunda Kelapa dengan kapal-kapal yang bersandar serta Kali Opak. Kali Opak ini dahulunya merupakan jalur pelayaran pula, terutama bagi kapal-kapal kecil yang hendak masuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa dari arah pusat Kota Batavia.
Sementara di sebelah selatan di Jalan Tongkol, terlihat bangunan besar dan panjang dengan jendela-jendela segitiga di atapnya bergaya arsitektur eropa kuno. Bangunan itulah dahulunya dikenal sebagai bengkel kapal VOC, yang dikenal dengan sebutan VOC Shipyard. Pada masa lalu, di lokasi ini kapal-kapal yang rusak diperbaiki. Namun sayangnya saat ini sekeliling bangunan bengkel tersebut sudah berpagar tembok sehingga tertutup bagi umum, sementara perevitalisasiannya sebagai restoran tidak merubah bentuk awal dan tetap mempertahankan arsitektur aslinya.

Patung-patung di Jakarta

Patung selain memiliki nilai estetika, juga mengandung simbol-simbol yang terpancarkannya. Patung dibuat tidak melulu lahir karena imajinasi atau ide seniman yang dituangkan secara visual. Tetapi dibalik itu, banyak mencerminkan keadaan suatu waktu atau sebagai simbol yang memiliki makna tersendiri. Ini tercermin pada patung-patung yang dibuat pada masa era pemerintahan Ir. Soekarno, yang sampai kini banyak menghiasi Jakarta.

Namun sayangnya, tidak banyak warga Jakarta mengetahui atau setidaknya mengenal nama patung tersebut. Mereka lebih mengenal karena lokasi dimana patung tersebut berada ketimbang nama aslinya. Seperti Patung Pancoran misalnya. Orang lebih banyak mengenal patung tersebut karena lokasinya tepat di perempatan Pancoran. Jarang bahkan bisa dibilang hampir tidak ada warga Jakarta mengenal sejarah dan nama asli patung tersebut.

Ma’min misalnya. Warga Buncit ini mengaku tidak tahu nama patung yang sempat mengalami keretakan akibat gempa beberapa tahun lalu itu. “Patung itu sudah ada sejak saya kecil. Disebut Patung Pancoran, ya mungkin karena adanya di Pancoran. Hehehe…” katanya tersenyum.

Miris memang, namun memang demikian adanya. Kini, Patung Pancoran dan patung-patung lainnya yang ada di Jakarta hanya dilihat sebagai penghias kota saja. Sementara sejarah dan makna yang terkandung dalamnya nyaris tak berbekas.


Monumen Dirgantara
Monumen atau Patung Dirgantara banyak dikenal dengan sebutan Patung Pancoran. Patung ini cukup tinggi sehingga dapat terlihat dari semua arah. Patung yang berbahan dasar perunggu dengan tinggi 11 meter, berat patung 11 ton, tinggi kaki patung (vootstuk) 27 meter ini memiliki filosopi. Yaitu sebagai lambang keberanian, kesatriaan dan kedirgantaraan yang didasarkan pada kejujuran, keberanian dan semangat mengabdi.

Latar belakang pembuatan monumen ini berawal dari keinginan Bung Karno diakhiri pemerintahannya. Beliau menghendaki dibuatnya patung digantara yang melambangkan manusia angkasa, gagah berani untuk menjelajah angkasa. Uniknya, biaya pembuatan patung dipikulnya sendiri dengan cara menjual mobil pribadi.

Sayang keinginan untuk segera melihat hasil karya itu agak terganggu dengan meletusnya G30S/PKI. Bahkan patung itu disebut-sebut sebagai alat pencungkil mata dari orang-orang PKI. Sesuatu yang disangkal Bung Karno dengan segera meresmikan patung tersebut sebagai jawabannya, dua tahun setelah awal pembangunannya di tahun 1964-1965.


Patung Pahlawan
Orang banyak menyebutnya Patung Pak Tani. Pasalnya, sang pria digambarkan sebagai tipe seorang petani menyandang bedil, sedangkan wanitanya berupa tipe seorang ibu yang sedang memberikan bekal (nasi) kepada sang pria. Padahal nama sebenarnya yang diberikan kepada monumen tersebut adalah Patung Pahlawan.

Patung yang terletak di Taman Segitiga Menteng, Jakarta Pusat, ini dibuat oleh pematung kenamaan Rusia bernama Matvei Manizer dan Otto Manizer. Merupakan hadiah yang diberikan kepada pemerintah Republik Indonesia.

Patung ini memiliki filosopi mengenai perjuangan bangsa Indonesia. Ide membuatnya didapatkan dari dogeng atau cerita mengenai seorang ibu yang mengantarkan anak laki-lakinya berangkat menuju ke medan perang. Untuk mendorong keberanian sang anak serta nekad memenangkan perjuangan dan sekaligus agar selalu ingat kepada orangtua dan tanah airnya, maka sang ibu memberikan bekal (berupa nasi) kepada anak laki-lakinya.

Patung Pembebasan Irian Barat
Karena lokasinya berada di kawasan Lapangan Banteng, maka lebih dikenal dengan nama Patung Lapangan Banteng. Patung ini diresmikan pada 1963 bertujuan untuk memperingati pembebasan Irian Barat atau kini dikenal sebagai Provinsi Papua. Sayangnya, kondisi patung dan lingkungan sekitarnya seperti tidak terawat.